BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika fiqh diartikan sebagai ilmu tentang
hukum-hukum syariah yang ditetapkan secara khusus untuk perbuatan-perbuatan
paramukallaf, dan hukum-hukumnya terdiri dari wajib, haram, mubah,
sunnah, makruh, batal dan shahih, maka pengertian ushul fiqh ialah ungkapan
untuk dalil-dalil dari hukum-hukum tersebut, serta tata cara untuk mengetahui
aspek-aspek penerapan dalil terhadap hukum-hukum tersebut secara global. Lebih
singkatnya ushul fiqh dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum-hukum yang bersumber dari beberapa dalil. Maka, pembahasan ushul fiqh
adalah seputar hukum, dalil-dalil dan pembagiannya, teori pengambilan hukum
dari dalil dan kode etik seorang pengambil hukum
Rukun hukum ada empat, yaitu: hakim;
mahkum alayh; mahkum fih, dan hukum itu sendiri. Dari sini, hakim adalah salah
satu rukun hukum dari rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan tentang hakim
adalah penting, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam. Dari
Hakimlah wahyu yang merupakan sumber syariat diturunkan, untuk memberi beban
tugas keagamaan (taklif) kepada makhluk dengan maksud memberikan manfaat
dan anugerah kepada mereka, sebagaimana Dia telah memberikan nikmat yang tidak
terhingga kepada mereka.
Sementara itu, ketika kita melihat produk
hukum yang telah diciptakan oleh para mujtahid, syarat wajib, atau pun syarat
sah dari sebuah perbuatan baik yang bersifat ubudiyah, mu’amalah ataupun
munakahah, sama sekali tidak melepaskan point aqil (berakal) bagi para
pelakunya. Di lain masalah, problematika penentuan sah atau batal, wajib atau
haram dan baik atau buruk bagi sebuah perbuatan, terkadang menggunakan ukuran
akal, seperti keharaman mengkonsumsi benda-benda yang membahayakan badan atau
nyawa, seperti mengkonsumsi racun. Allah pun membenarkan hal ini. Dia telah
mencela orang-orang kafir, karena mereka tidak mau menggunakan petunjuk (dalil)
akal akan keesaanNya, berdasarkan apa yang mereka saksikan dalam diri mereka
dan orang lain. Dalam masalah ini Allah berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا
كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya: “Dan mereka berkata:
"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk: 10)
Al-Imam Al-Mawardi bahkan mempertegas,
bahwa Allah menjadikan akal sebagai pondasi agama, pilar dunia, sebagai sarana
mengawasi dunia dan mempersatukan berbagai macam makhluk, di tengah
ketidaksamaan kehendak dan cita-cita mereka. Lebih lanjut beliau mengatakan
bahwa akal adalah sarana untuk mengetahui hakikat kebenaran dan untuk
membedakan yang baik dan buruk.
Dengan problematika seperti di atas,
makalah ushul fiqh kali ini, kami beri judul Memposisikan Akal Sebagai Hakim
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang
masalah di atas, maka permasalahan seputar keberadaan akal sebagai penentu
hukum (al-Hakim) adalah sebagai berikut:
1. Siapakah
al-Hakim yang sebenarnya
2. Apakah
akal dapat diposisikan sebagai Hakim
3. Dimanakah
posisi akal yang sebenarnya di hadapan Syariah
C. TUJUAN
Setelah diketahui latar belakang dan
rumusan masalah, seperti yang telah dijelaskan di atas, maka penulisan makalah
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
siapa sebenarnya al-Hakim
2. Mengetahui
benar atau tidaknya menposisikan Akal sebagai Hakim
3. Mengetahui
posisi dalil akal yang sebernarnya dalam menentukan sebuah hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HAKIM
Hakim menurut bahasa mempunyai dua arti,
yaitu: Pertama, pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.
Kedua, yang menemukan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum. Menurut istilah
yang dimaksud hakim adalah Allah yang mensyariatkan dan pemberi beban makhluk
dengan hukum-hukum. Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa hakim yang
sesungguhnya ialah Allah. Dialah yang maha perkasa di atas hambaNya dan tidak
akan terjadi sesuatu kecuali sesuai kehendakNya. Dialah yang memberi perintah
dan memberi larangan kepada hambanya. Dan yang wajib bagi hamba adalah
mentaatinya, hingga diperoleh pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang berbuat
maksiat
Hakim adalah rukun kedua dari rukun-rukun
hukum. Hakim adalah Dzat Yang berfirman dan hukum adalah firmanNya. Maka, tidak
ada syarat lain untuk memunculkan bentuk hukum kecuali adanya point ini. Hak
legalitas hukum juga hanya diberikan kepada Allah. Maka hukum-hukumNya saja
yang dianggap legal, dengan kata lain tiada hukum dan tiada perintah kecuali
hanya dari Allah SWT. Adapun Rasulullah SAW, para penguasa, para majikan
(sayyid), orang tua atau suami yang dalam permasalahan tertentu perintah dan
larangan mereka juga menjadi hukum, sebenarnya bukan karena mereka adalah
pembuat hukum, melainkan karena adanya perintah Allah untuk melakukan taat
kepada mereka. Jika perintah Allah ini tidak ada maka tidak ada kewajiban
makhluk untuk taat kepada makhluk yang lain, karena serajat satu makhluk tidak
lebih utama dari pada makhluk yang lain. Jadi, yang wajib adalah mentaati Allah
dan mentaati orang yang perintahkan oleh Allah untuk mentaatinya
Jika dikatakan bahwa setiap orang yang
mempunyai kemampuan untuk mengancam orang lain dengan siksa dan dapat
diwujudkan dalam kenyataan, maka orang tersebut bisa disebut sebagai pembuat
perintah yang wajib ditaati. Dari pernyataan ini, maka bisa ditarik kesimpulan
bahwa hak legalitas hukum bukan semata milik Allah. Hal ini memang benar.
Karena ketika membahas hakikat wajib, ia tidak akan dapat diwujudkan kecuali
dengan adanya kaitan dengan dampak buruk yang menakutkan yang ada di baliknya,
dan manusia juga mempunyai peran dalam hal ini. Bisa saja manusia yang berkuasa
disebut sebagai yang menentukan hukum wajib. Namun bukan berarti wajib, karena
adanya ancaman yang pasti akan terjadi, sebab dalam perkembangan selanjutnya,
bisa saja kekuasaan untuk mengancam orang lain dengan siksa itu sama sekali
tidak terwujud. Sedangkan ancaman Allah, akan benar-benar terwujud sampai
kapanpun sesuai dengan kehendakNya
Kata hakim secara etimologi berarti
“orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai
orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang
menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini
didasarkan pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 57:
إ ن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين ( ا لأ
نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia
yang menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS.
Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa
yang membuat hukum adalah Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah
apakah hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya
wahyu dan datangnya Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga
mengetahuinya.
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama
berselisih peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang
yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dalam Islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah),
maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta,
halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para
ulama’ hukum diatas itu semuanya bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi
Muhammad saw maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori
Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap
hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal ini para ulama’ fiqh
menetapkan kaidah :
لاحكم الالله
Artinya
“tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah
SWT.”
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh
mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan
orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’.
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqh untuk mendukung
pernyataan diatas adalah, sebagai berikut:
1. QS.
Al-Maidah: 44
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS.
Al-Maidah:44)
2. QS.
Al-Maidah: 49
واحكم بينهم بما أنزل الله...
Artinya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka
menurut apa yang ditunkan Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
3. Diakhir
ayat 45 surat al-maidah
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa
yang diturunkan Allah, mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS.
Al-Maidah:45).
4. Keharusan
untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi perbedaan pendapat
...فان تنا
زعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu
beriman kepada Allah dan Hari Kiamat” (QS. An-Nisa’: 59)
5. Keharusan
untuk menggunakn hukum Allah SWT. dalam surat an-Nisa’: 65
فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجد
وا فى انفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما.
Artinya:
“maka demi Tuhan-Mu, mereka (pada hakikatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS.
An-Nisa’: 65)
B. MEMPOSISIKAN
AKAL SEBAGAI HAKIM
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu:
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan dalil akal. Ketika diteliti dengan sebenarnya,
maka dalil hukum hanya satu yaitu firman Allah SWT, karena sabda Rasulullah
SAW, bukan merupakan hukum dan tidak menetapkannya. Ia berstatus sebagai
pemberi kabar firman-firman Allah. Ijma’ (Konsensus) ulama juga tidak bisa
disebut sebagai dalil hukum dalam arti yang sebenarnya, sebab ia menunjukkan
sabda Rasul. Akal juga demikian. Ia hanya berstatus penafian hukum ketika
firman Allah dan sabda rasul tidak ditemukan
Ketika melihat hukum-hukum yang ditetapkan
kepada manusia, sebenarnya hukum-hukum tersebut tidak akan dapat diketahui,
kecuali dengan sabda Rasulullah, karena kita tidak bisa mendengar firman Allah
secara langsung atau melalui perkataan malaikat Jibril. Jadi, jika yang menjadi
acuan adalah proses tersiarnya hukum, maka dalil hukum hanyalah sabda Rasul SAW
Tidak ada hakim kecuali Allah, Tuhan
semesta alam. Oleh sebab itu, kalangan Asy’ariyah mengatakan bahwa hukum atas
perbuatan para mukallaf sebelum diangkatnya Rasulullah SAW (masa fatrah), atau
tidak sampainya da’wah kepada mereka, tidak ada hubungannya dengan Allh SWT.
Maka saat itu kekufuran tidak haram dan iman tidak diwajibkan. Allah SWT
berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
(الإسراء: 15)
Artinya: “Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15)
Ada riwayat shahih yang menunjukan adanya
siksa bagi para manusia yang hidup dalam masa fatrah. Namun demikian riwayat
ini tidak bertentangan dengan tidak adanya siksa bagi orang-orang yang hidup
pada masa fatrah. Atau riwayat ini bisa diartikan bahwa adanya manusia yang
mendapat dosa pada masa fatrah disebabkan sesuatu yang hanya diketahui oleh
Allah dan RasulNya. Bisa pula dijawab bahwa yang disiksa seperti tersebut dalam
riwayat, hanya orang-orang merubah atau mengganti dengan hal-hal yang tidak
ditolelir, seperti menyembah berhala dan mengganti syariat.
Jawaban ini sebenarnya tidak cocok dengan
pernyataan bahwa tidak ada kewajiban kecuali berdasar syariah, hingga Imam
al-Haramin berpendapat bahwa jika yang dimaksud dengan yang disiksa Allah saat
masa fatrah itu adalah orang yang bertemu dengan sisa-sisa syariah yang ditetapkan
oleh nabi sebelumnya, maka tidak akan ditemukan kemusykilan. Selanjutnya,
Al-Haramain menambahkan bahwa yang dimaksud masa fatrah ialah orang-orang yang
hidup diantara dua Rasul dan rasul pertama tidak diutus untuk mereka, dan
mereka tidak menjumpai nabi sesudahnya. Dari uraian ini dapat dimengerti bahwa
perselisihan ini terjadi ketika dikaitkan dengan hukum iman. Untuk
masalah-masalah furu’iyah, para ulama tidak ada khilaf tentang tidak adanya
siksa, kecuali bagi mereka yang menerima dakwah para Rasul
Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa akal
adalah yang memutuskan wajib dan haram. Singkat kata ia adalah al-Hakim secara
independen. Apa yang dianggap baik oleh akan adalah wajib, seperti mengenal
Allah sebagai Tuhan, dan mengenal diri sebagai hamba, kewajiban bersyukur
kepada Allah, dan penyelamatan terhadap korban banjir dan kebakaran. Apa yang
dianggap akal jelek adalah haram secara pasti, seperti kufur nikmat, perbuatan
sia-sia dan perbuatan aniaya. Mereka memposisikan akal diposisikan diatas posisi
dalil-dalil syar’i, hingga mereka tidak memperkenankan menetapkan hukum dengan
dalil syar’i, selama akal tidak mengetahuinya
Menurut kalangan Mu’tazilah, sebuah
pekerjaan jika mengandung kemaslahatan murni dan berskala yang besar akan
dianggap oleh akal bahwa Allah mewajibkannya. Jika mengandung kerusakan murni
dan berskala besar, maka akal akan mengatakan bahwa Allah melarangnya. Jika
maslahah dan mafsadah dalam posisi seimbang atau sama sekali tidak mengandung
keduanya, maka ia adalah mubah dan tidak bisa disebut dengan hukum, sebab ia
telah ada sebelum syariat di datangkan. Akal akan mampu memahami bahwa Allah
dengan kebijaksanaanNya yang tinggi secara pasti tidak akan meninggalkan
maslahah sesaatpun kecuali Dia mewajibkannya dan memberinya pahala. Akal juga
tidak akan meninggalkan kerusakan kecuali Dia mengharamkannya dan memberinya
siksa
Menurut Mu’tazilah kedudukan syariah yang
sebenarnya hanya sebagai tanda dan ia mengalami perubahan dan penggantian.
Sementara akal dengan sendirinya telah mewajibkan atau mengharamkan tanpa ada
perubahan dan penggantian. Yang dimaksud mewajibkan menurut mereka ialah adanya
bentuk pengunggulan terhadap iman –misalnya--, mengakui ketuhanan, dan
mempercayai wujudnya Allah untuk selama-lamanya. Jika akal mengharamkan, maka
ia terjadi saat akal menetapkan pengunggulan untuk tidak melakukan kemusyrikan,
dan tidak melakukan pengakuan Tuhan untuk selain Allah
Akibat aqidah yang batal ini, kalangan
Mu’tazilah mengingkari kemampuan mata manusia untuk melihat Allah. Mereka
mengatakan bahwa melihat Allah yang bersifat wujud tidak mungkin dilakukan
menurut akal, sebab Allah bebas dari arah dan posisi. Dan tidak mungkin
dilakukan melihat sesuatu tanpa arah dan jarak yang tertentu.
Mereka juga mengingkari bahwa segala
kejelekan, kekufuran dan maksiat termasuk dalam wilayah kehendak Allah, karena
menyandarkan kejelekan, kekufuran dan maksiat kepada Allah termasuk hal yang
dianggap buruk oleh akal
Masih menurut kelompok yang didirikan oleh
Abu Ali Al-Jubba’i ini, jika dalam satu keadaaan akal manusia mendorong
melakukan isdidlal, maka alasan yang mewajibkan akan menjadi nyata. Dengan ini
mereka berkata bahwa orang yang berakal, baik kecil atau besar tidak ada udzur
berhenti mencari kebenaran dan meninggalkan iman kepada Allah. Maka anak kecil
yang berakal harus beriman. Begitu pula orang yang ada dipedalaman yang tidak
sampai kepada mereka dakwah Islam, mereka adalah ahli neraka.
Titik perbedaan pandangan antara Kalangan
Mu’tazilah dan Asy’ariyah hanya terletak pada pemberian status pada sesuatu
yang baik (al-Husn) dan yang buruk (al-Qubh), Menurut jumhur, sesuatu yang baik
(al-Husn) dan yang buruk (al-Qubh), jika dimaknai kesenangan dan kebencian hati
seperti kebaikan manis dan kejelekan pahit atau sifat kesempurnaan dan
kekurangan, seperti kebaikan ilmu dan kejelekan bodoh, maka ia bersifat aqli,
dalam arti yang menentukan baik buruk adalah akal. Jika dimaknai munculnya
pujian dan hinaan di dunia atau pahala dan siksa di akhirat, maka ia bersifat
syar’i, artinya ia tidak dihukumi kecuali oleh syariah yang bawa Rasulullah
SAW.
Menurut Kaum Mu’tazilah ini pun juga
bersifat aqli, artinya akan yang menghukumi baik dan buruk, karena dalam sebuah
pekerjaan terdapat maslahah dan mafsadah yang diikuti baik dan buruk menurut
Allah, dalam arti akal memahaminya secara dhoruri, seperti kebaikan sifat jujur
yang bermanfaat dan kejelekan sifat bohong yang berbahaya.
Golongan lain berpendapat sebaliknya.
Syariah datang sebagai penguat, atau sebagai pembantu untuk menentukan baik dan
buruk yang tidak mampu dipahami sepurna oleh akal, seperti kebaikan puasa.
Ahlussunnah Wal Jamaah (Asya’irah) dan
Mu’tazilah sependapat bahwa akal akan mampu menemukan kebaikan dan kejelekannya
sesuatu sebelum datangnya syariah. Dalam masalah pahala dan siksa mereka
berbeda pendapat. Mu’tazlilah mengatakan bahwa pahala dan siksa menetapkan
sesuatu. Maka akal menghukumi tentang adanya pahala dan siksa sebelum datangnya
syariah, disebabkan adanya kebaikan dan keburkan sebelumnya. Jika syariah
datang, maka ia menjadi penguat bagi hukum akal. Sedangkan ulama sunni
mengatakan bahwa pahala dan siksa tidak dapat diketahui kecuali dari arah
syariah.
Ada tiga madzhab dalam masalah ini. Yaitu:
Pertama: Baik dan buruk sesuatu, dan pahala dan siksa adalah syar’i. Ini adalah
pendapat Asy’ariyah, Kedua: kedua-duanya adalah aqliyah. Ini pendapat Kaum
Mu’tazilah. Ketiga: kebaikan dan keburukan suatu ditetapkan berdasar akal dan
pahala dan siksa tergantung syariah, tidak ada pahala dan siksa kecuali ketika
akal sudah terbit. Inilah sesuai dengan apa yang disampaikan As’ad bin
az-Zanjani, dari kalangan Syafi’iyyah, Abu Khathab dari kalangan Hanabilah,
juga kalangan Hanafiyah dan meriwayatkannya sebagai nash dari Imam Abu Hanifah
C. AKAL
SEBAGAI PENEMU HUKUM
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai
pencipta hukum (al-Hakim) menurut Jumhur ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika
akal merupakan bagian dari dalil-dalil syariah maka posisi akal adalah sebagai
penemu (al-Mudrik) hukum, bukan sebagai pencetus hukum (al-Hakim). Jadi, yang
benar adalah dikatakan “Hukum syara’ ditemukan oleh akal”, tidak boleh
dikatakan, “ilmu Syara’ diwajibkan akal”
Yang menjadi sandaran dalam membatalkan
kebaikan dan keburukan adalah tidak adanya kewajiban menjaga maslahah dan
mafsadah. Sebagai contoh adalah penciptaan alam, apakah untuk maslahah atau
tidak? Jika untuk maslahah, maka Allah SWT telah melakukan pekerjaan maslahah
sepanjang masa dan tiada batasnya. Jika tidak untuk maslahah, maka pekerjaan
Allah tidak wajib ditetapkan untuk maslahah, dalam arti menjaga maslahah dunia
bagi Allah bukan sesuatu yang wajib. Jika sudah demikian maka tidak wajib
berdasarkan akal, Allah akan mengikat hukum-hukumNya di alam ini, tetapi hal
ini adalah hal yang jaiz. Dari sini maka kaidah tahsin (pembaikan) dan taqbih
(pemburukan) menjadi batal, sebab kewajiban mengikat hukum-hukum dengan
maslahah dan mafsadah secara akal adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri
yang bersifat aqli. Dari dasar (ashl) ini, para sahabat membuat cabang dengan
dua masalah:
Masalah pertama: Kewajiban bersyukur
kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Syukur adalah memuji kepada Allah dengan
mengingat-ingat kenikmatan dan kebaikan Allah. Syukur adalah sesuatu yang baik
secara pasti berdasarkan pengetahuan akal. Adapun hukum wajib bersyukur adalah
berdasarkan syara’ bukan berdasar akal. Menurut ulama lain, syukur wajib secara
akal, tetapi wajib dari segi dalil, bukan dari segi pengetahuan akal yang
pasti. Segolongan ulama dari ashab Syafi’i, sepakat tentang hal ini seperti
Abul Abbas bin Al-Qash, Abu Bakar As-Syasyi, Abu Abdillah Az-Zubairi, Abul
Hasan bin Qathan dan Abu Bakar As-Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan bahwa ibadah dilihat
dari aspek dalil sam’i (al-Quran dan Hadits) tidak didatangkan kecuali pada
tiga aspek:
1. Ibadah
yang didatangkan dengan pewajiban yang sama dengan apa yang diwajibkan
berdasarkan akal, seperti Iman kepada Allah dan mensyukuri nikmatNya.
2. Datang
dengan pengharaman yang sama dengan apa yang diharamkan berdasarkan akal,
seperti kufur kepada Allah
3. Ibadah
datang karena akal memperbolehkannya, seperti shalat, zakat dam haji.
Ibnul Qash mengatakan bahwa sesuatu
berdasar tinjuan akal ada tiga macam. Yaitu: sesuatu yang diwajibkan akal,
sesuatu yang dinafikan akal, dan sesuatu yang diperbolehkan oleh syariah. Masalah
kedua: Hukum sesuatu sebelum datangnya Syariah. Para ulama menetapkan masalah
ini secara mutlak dalam setiap masalah ushul dan furu’. Namun demikian
didalamnya ada hukum yang dipahami berdasar pengetahuan dharuri akal, dan ada
yang dipahami berdasar pertimbangan akal. Ada pula yang dipahami tanpa
keduanya. Menurut kalangan syafi’iyah, kewajiban dan keharaman dalam sesuatu
tidak dapat diketahui berdasarkana akal. Ia tidak akan diketahui hukumnya
kecuali dengan syariah sesudah Rasulullah diangkat menjadi Rasul.
Apa yang telah dipaparkan diatas adalah
i’tiqad ahlussunnah waljamaah dan berdasar kesepakatam imam madzahib al-Arba’ah
dan murid-murid mereka. Seorang ulama Hanabilah mengatakan bahwa hukum
pekerjaan sebelum datangnya syariah ada dua pendapat, yaitu boleh dan haram,
berdasar perkataan Imam Ahmaad
Untuk hukum benda-benda yang dapat
dimanfaatkan sebelum datangya syariah ada beberapa pendapat.
1. Boleh.
Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah Bashra seperti yang dikatakan Al-Ustadz Abu
Mansur. Abu Zaid Al-Dabusi mengatakan bahwa ini adalah pendapat ulama Hanabilah
2. Haram.
Ini pendapat kaum Mu’tazilah Bagdad
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Yang Jelas Hukum untuk para mukallaf
adalah milik Allah. Mayoritas ulama Ahlussunnah Waljmaah mengatakan hal ini. Sedangkan
pendapat kalangan Mu’tazilah tentang posisi akal yang seakan mengalahkan firman
Allah, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan nash-nash al-Quran dan Hadits,
bahkan walaupun mereka lebih mengandalkan perhitungan akal dalam setiap
langkah, tetapi ketika pendapat mereka dipertanggung jawabkan secara akal,
justeru pendapat mereka menjadi lemah dan mudah untuk dipatahkan. Walaupun
demikian keberadaan kaum mu’tazilah menjadi sebuah kemajuan intelektual bagi
ahlussunnah waljamaah, yaitu sebagai tonggak munculnya ilmu kalam, untuk
mempertahankan aqidah dari serangan pemikiran yang lebih mengutamakan akal.
Meskipun akal bukan sebagai pemutus hukum,
bukan berarti syariah membatasi ruang gerak akal. Sesuai dengan prinsip hukum
yang lebih mengedepankan posisi akal bagi pribadi para mukallaf, kebanyakan
produk hukumnya mensyaratkan fungsi akal bagi objeknya. Dalam masalah istimbat
hukum, akal menjadi salah satu sumber hukum. Sesuai dengan uraian dalam makalah
ini, sumber hukum akal seakan menjadi alternatif kedua saat ketidak adaan dalil
yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Fungsi akal dalam menentukan hukum adalah
sebagai penemu dan pemaham atas suatu masalah yang akan dicarikan hukumnya,
bukan sebagai penentu hukum. Maka apa yang dianggap baik oleh akal dan diamini
oleh syariah, maka baik juga menurut syariah. Syariah datang sama sekali tidak
bertentangan dengan akal. Wallahu A’lam…..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin
Ahmad, “Al-Mushtashfa”, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad bin
Habib, Adab al-dunya waddin, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Az-Zarkasyi, Badruddin bin Muhammad
Bahadur, Al-Bahrul Muhith, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Wizarah awqaf Wa Syu’un al-Islamiyah
al-Kuwaitiyah, Mawsu’ah al-Fiqhiyah, pada Software Maktabah
Syamilah Ver. 3.48,
Ibnu Amir Hajj, Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad, al-Taqdir wa al Tahbir, pada software Gamee’ Fiqh
ver.1.0,
Al-Bukhari Al-Hanafi, Abdul Aziz bin Ahmad
Bin Muhammad, Kasyf al-Asrar, pada software gamee fiqh ver.1.0
Kairo: Harf, 1988
Al-‘Athar, Hasan bin Muhammad bin
Mahmud, Hasyiah al-‘Athar ala al-Jalal, pada Sofware
gamee fiqh ver.1.0 Kairo: Harf, 1988
Cara-cara untuk menentukan sebuah hukum
terbagi 3 mazhab yang berbeda pendapat, yaitu:
1. Mazhab
Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menentukan hukum. Jadi
hanya syariat yang datang dari Allah lah yang dapat dijadikan hukum.
2. Mazhab
Mu’tazilah, berpendapat bahwasannya akal telah mampu untuk menentukan hukum
sebelum syariat itu datang, dan setelah syariat itu datang maka akal pulalah
yang digunakan. Karna menurut mereka hukum syariat dan hukum yang ditentukan
oleh akal itu sama. Apa yang menurut akal baik maka baik pula untuk syariat,
begitupun sebaliknya.
3. Mazhab
Maturidiyyah, berpendapat bahwasannya akal mampu untuk menentukan hukum,
akantetapi ada keterbatasan akal dalam menentukan hukum. Menurut mereka apa yang
dianggap baik oleh akal belum tentu baik didalam syariat. Jadi jika syariat
sudah sampai kepada mereka, mmaka mereka akan menggunakan syariat sebagai
landasannya.
No comments:
Berkomentarlah sesuai dengan Pembahasan diatas. Apabila berkomentar dengan menggunakan bahasa yang tidak sopan, akan kami anggap spam dan komentar akan kami hapus.